ORASI ILMIAH WISUDA KE-10 TAHAP KE II TAHUN 2022, MENJAGA KEBHINEKAAN: KAUM CENDEKIA DAN MODERASI BERAGAMA DI ERA MEDIA SOSIAL

iainmanado.official- Menjaga kebhinekaan: Kaum Cendekia dan Moderasi Beragama di era media sosial merupakan tema dari Orasi ilmiah pada Wisuda ke-10 tahap II Tahun 2022 oleh Prof. KH. Nadirsyah Hosen, Ph.D., Tiga key words: kaum cendekia, moderasi beragama dan medsos dalam tema hari ini membawa kita pada satu pertanyaan kunci: Apa peranan kaum cendekia (dosen, alumni…

By.

min read

iainmanado.official- Menjaga kebhinekaan: Kaum Cendekia dan Moderasi Beragama di era media sosial merupakan tema dari Orasi ilmiah pada Wisuda ke-10 tahap II Tahun 2022 oleh Prof. KH. Nadirsyah Hosen, Ph.D.,

Tiga key words: kaum cendekia, moderasi beragama dan medsos dalam tema hari ini membawa kita pada satu pertanyaan kunci:

Apa peranan kaum cendekia (dosen, alumni dan mahasiswa) dalam menjaga moderasi beragama di tengah gelombang info di medsos, yang disebut2 telah membawa kita memasuki era matinya kepakaran.

Perkembangan teknologi, terutama media sosial dan smartphone, membuat hal itu sebuah keniscayaan. Mungkin tak terlalu bermasalah bila semua orang sekadar merasa paling tahu sesuatu lantas menyebarkannya. Yang jadi masalah ketika peran pakar ditiadakan, informasi yang benar disangkal, lantas kedunguan dibanggakan. Bahkan yang mengagetkan, kaum cendekia sendiri termasuk pihak yang tidak sanggup memverifikasi kebenaran info yg beredar bahkan tak jarang disadari atau tidak turut menyebarkan berita hoaks, rumors, bahkan segala macam teori konspirasi.

Ini membawa kita bertanya2: bisakah kita kembali ke jati diri kita sebagai insan cendekia, yang diharapkan membawa obor penerang bagi bangsa, atau kita malah turut memadamkan logika dan cara berpikir ilmiah kita?

Untuk membahas masalah ini, ijinkan saya memetakan dulu persoalan secara global sebelum kemudian kita menukik pada persoalan di sekitar kita.

Ada pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia, Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el­Tayyeb, pada 4 Februari 2019 lalu. Pertemuan tersebut telah menghasilkan doku­men persaudaraan kemanusiaan (human fraternity docu- ment), yang di antara pesan utamanya menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstre­misme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia.

Saya ingin menambahkan 3 masalah mendasar yang merupakan masalah bersama semua umat manusia saat ini, apapun latar belakangnya, yaitu: kebodohan (tingkat literasi yg rendah), ketimpangan sosial dan ekploitasi alam yang merusak keseimbangan semesta. Ketiga hal mendasar inilah yang kemudian membawa kita pada persoalan2 besar yang telah diidentifikasi oleh Paus dan Grand Syekh al-Azhar.

Alih-alih kita, umat di dunia, membahas hal-hal mendasar tersebut, kita justru asyik membenturkan dua tema penting, yaitu agama dan kebangsaan. Di satu pihak, ada yang mengklaim paling beragama, di sisi lain ada yg mengklaim paling Pancasila. Namun sayangnya kita dipertontonkan oleh panggung teater bahwa hal yang sebenarnya tengah terjadi adalah perebutan wacana dan pertarungan kekuasaan.

Bentuk yang paling vulgar saat ini ada dua: jualan emosi umat dan politisasi agama.

Sekarang ini banyak yang “jualan” lewat emosi umat. Utk kepentingan jangka pendek, Ini cara efektif utk meninabobokan umat. Modusnya: Islam saat ini diserang, dihina, dan dikalahkan. Umat yg emosi akan mudah diarahkan bergerak sesuai maunya sutradara dan pembuat skenario.

Segala macam cara dipakai utk membakar emosi masa. Isu ditebar gak peduli sahih atau maudhu’ (hoax). Semua hal yg dianggap simbol Islam gak boleh dikritik, dijadikan candaan, ataupun dipolisikan. Ancamannya: emosi umat akan tumpah ruah!

Lama-lama umat tidak lagi dibiasakan bertabayun, berdialog, berintrospeksi dan berpikir kritis, serta berakhlakul karimah. Yg tersisa cuma luapan emosi. Sang sutradara dan penulis skenario sedang bermain-main dengan api, yang boleh jd akan berbalik membakar mereka sendiri

Diperlukan usaha kolektif untuk meredam emosi umat dengan terus meningkatkan budaya literasi, memberikan teladan akhlak mulia, dan juga menyalurkan emosi umat ke hal-hal positif berupa pemberdayaan secara ekonomi & sosial.

Sayangnya sejumlah tokoh yang kita harapkan berada di tengah dan mengademkan umat malah asyik bertarung di politik praktis atau malah ikut2an memanfaatkan emosi umat.

Bentuk yang kedua, dan merupakan konsekuensi logis dari jualan emosi umat adalah terjadinya politisasi agama.

Yang saya maksud dengan politisasi agama adalah teks keagamaan ditafsirkan secara serampangan dengan dorongan syahwat politik. Keduanya bisa dilakukan oleh pihak oposisi atau pihak pemerintah. Intinya, bagaimana penafsiran agama dipelintir dan diarahkan secara efektif untuk mendukung atau menolak pihak tertentu. Mimbar keagamaan tidfak lagi suci. Isinya bulan lagi membahas kebenaran tapi telah penuh dg berbagai pembenaran. Medsos telah menjadi platform untuk menyebarkan kedua bentuk di atas, yaitu jualan emosi umat dan politisasi agama. Penyebarannya sangat massif dewasa ini.

Sekali lagi, pertanyaannya, dimana peranan kaum cendekia? Akankah kita menjadi obor penerang bagi umat? Atau justru kita yang membakar habis emosi umat dan menabuh genderang politisasi agama?

Saya memandang bahwa kaum cendekia sudah waktunya kembali ke khittah atau jati dirinya. Banyak kaum cendekia yang berlepas tangan terhadap kondisi saat ini karena khawatir dibully di medsos, atau bahkan dihack dan di-doxing akun medsos nya. Saya pribadi berkali-kali bukan saja dicaci-maki tapi juga diancam mau dibunuh oleh sekian banyak pihak di medsos. Tetapi kalau kaum cendekia diam saja dan berlepas tangan, maka siapa lagi yang bisa menjaga dan merawat serta mempromosikan kewarasan bangsa dan memadamkan bara api perpecahan.

Tapi bukankah kaum cendekia tidak memiliki massa yang siap menyambut dan mendukung dg pekik takbir? Bukankah kaum cendekia sibuk meneliti dan menerbitkan artikel di jurnal yg terindex scopus? Bukankah gaji dan renumerasi kaum cendekia amat terbatas untuk melakukan kerja-kerja publik yang gratisan? Bukankah kaum cendekia juga harus punya ghirah keagamaan yang seharusnya ikut larut dalam gerakan populisme saat ini? Bukankah kaum cendekia  tidak punya bedil dan senapan? Mengapa harus berharap terlalu banyak pada kaum cendekia?

Sekian banyak alasan untuk berlepas diri dari khittah jati diri kita sebagai kaum cendekia bisa kita berikan. Seribu excuse bisa kita lontarkan, dan bukankah sudah tabiat kita sbg insan cendekianuntuk terlatih mencari-cari alasan?

Saya ingin sodorkan satu fakta menarik, “Ketika kelompok Taliban mulai berkuasa di afganistan, kelompok cendekia di sana diam dan merasa tidak penting untuk merespon. Mungkin sebagian lagi takut, mungkin sebagian lagi diam-diam mendukung, tapi yang jelas sebagian besar mengecilkan arti pentingnya kelompok Taliban. Ketika mererka semakin berkuasa, yang paling pertamna menjadi target serangan Taliban adalah kaum cendekia. Taliban —yang artinya pelajar— menjadi gerakan anti intelektual. Perempuan tidak boleh belajar. Teks keagamaan tidak boleh ditafsirkan berbeda dg pemahaman mereka, dan atas nama perjuangan membela agama, nyawa manusia tak ada harganya.  Ini akibat kaum cendekia diam dan berlepas tangan pada awalnya. Tentu kita tidak bisa biarkan ini terjadi di negara tercinta kita”. Jelas Prof. Nadzir

Salah satu persoalan penting di kalangan konservatisme beragama bukan lagi soal matinya kepakaran, sejak lama mereka telah mematikan akal dalam beragama.

Mereka beralasan memahami agama tidak boleh lewat akal. Cukup lewat wahyu. Kalau agama dipahami dengan akal, hasilnya akan akal-akalan. Tidak aneh mau kita tunjukkan bukti foto satelit bahwa bumi itu bulat, mereka akan bilang bumi itu datar. Mau kita tunjukkan banyak sudah yang terpapar covid-19, mereka akan bilang tidak ada itu covid-19. Itu semua konspirasi.

Bagaimana kita sebagai kaum cendekia merespon ini?

Saya punya banyak kawan yang sekolah tinggi-tinggi hingga mencapai gelar tertinggi dalam bidang sains maupun sosial sains, tapi kalau sudah membahas agama, dia seolah menekan tombol switch off yaitu dia matikan nalarnya. Kalau sudah bahas agama, semua cara berpikir ilmiah dan nalar kritisnya hilang semuanya. Tidak heran indoktrinasi begitu mudah masuk. Makanya jangan aneh ketika beberapa saat lalu kita mendengar seorang cendekiawan mengikuti aliran yang bisa menggandakan uang —lewat pendekatan agama tentunya.

Atau di kejap lain kita mendengar para sarjana fisika atau kimia —hanya sekadar menyebut contoh disiplin umum saja— mendadak menjadi ustad yang kesana-kemari memberikan pengajian, tanpa pernah belajar di madrasah, pesantren ataupun perguruan tinggi Islam. Atau ada kaum cendekia yg tidak mau anaknya divaksin, dengan mengutip berbagai video konspirasi yg viral di medsos. Atau ada seorang manajer di bank nasional yang mengundurkan diri dari posisinya setelah mengikuti pengajian tertentu yang mengatakan haram bekerja di bank konvensional, dan akhirnya memilih menjadi tukang cuci mobil demi menghidupi kelima anaknya.

Ada bebrapa poin sebagai kaum cendekia, paling tidak kita percaya bahwa:

  1. Informasi yg sahih harus diberikan oleh pemegang otoritas keilmuan. Kalau saya tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran, dan hanya membaca persoalan kesehatan di blog atau youtube, tentu saya tidak boleh mengobati orang lain, karena saya tidak punya otoritas keilmuan dan profesi utk melakukan tindakan itu. Begitupula kalau saya tidak punya latar belakang finance, saya tidak boleh memberikan saran keuangan (konsultasi) kepada orang lain. Ya cukup pengetahuan saya yg terbatas itu dijalankan utk ngurusi keuangan keluarga saya sendiri saja. Untuk itu, kalau kita bicara soal informasi keagamaan tentu kita pun harus mengetahui apakah ustad ini punya otoritas keilmuan atau tidak. Jangan sampai baca ayat saja salah, atau bahasa arab tingkat dasar saja tidak tahu, tapi karena penampilannya spt ustad dan gemar bersuara keras mengkritik pemerintah, lantas kita jadikan sumber rujukan seraya meminggirkan mereka yang sejatinya memilikim otoritas keilmuan.
  2. Informasi harus diverifikasi, termasuk dari pakarnya sekalipun, tidak lantas kita terima begitu saja.Apalagi kalau bukan dari mereka yang punya otoritas keilmuan. Repotnya, saat ini sebagian kalangan dosen dan mahasiswa cenderung utk mempercayai informasi apapun yang memang mnereka cocok dg informasi tsb. Kalau info tsb disampaikan pihak yg berseberangan, betatapun sahih dan memeuhi kaidah keilmuan, akan langsung ditolak.
  3. Memverifikasi informasi itu sesuai dg data dan argumentasi, bukan malah menyerang personal. Saat ini labelling di ranah publik sangat mengkhawatirkan. Kategorisasi cebong-kadrun misalnya bukan saja tidak ber-etika, tapi jug mematikan diskusi. Tidak pedulu berapa banyak kitab tafsir klasik yg saya jadikan rujukan dalam buku-buku saya, itu semua cukup dibantah dg labelling secara seenaknya: dia orang liberal. Jangan baca bukunya. Padahal kalau ditanya liberal yg anda maksud itu apa sih? Dan mana pendapat saya yg liberal atau yg tidak sesuai dg quran dan hadis? Mereka akan bilang: ya kata murabbi saya begitu. Kok lgs percaya saja apa kata murabbi anda? Apa sudah diverifikasi info dari murabbi? Nah, tentu mengherankan ketika kaum cendekia tidak lagi mau melakukan proses verifikasi terhadap apa yang diterimanya. Semua nalar menjadi tumpul ketika sudah bicara agama. Ini yg jadi masalah
  4. Ilmu itu berjenjang. Anda belajar topik yang sama, katanlah anatomi, saat dulu belajar biologi di jenjang smp atau smu, tentu berbeda tingkat kedalamannya saat anda belajar anatomi di fakultas kedokteran. Begitu pula halnya belajar agama. Referensi keagamaan juga bertingkat. Yang dipelajari di tingkat madrasah atau pesantren akan berbeda kedalamannya dg yg dipelajari di tingkat UIN/IAIN. Kitab rujukan standar dalam disiplin ilmu keislaman juga dikenal luas. Yang tidak membaca teks standar maka diragukan kapasitasnya.

Setiap teks sebenarnya ada syarah atau penjelasannya. Ambil contoh teks Hadits Nabi dalam kitab Shahih Bukhari. Kita tidak akan bisa memahaminya dengan utuh tanpa membaca syarah atau penjelasan dari Imam Ibn Hajar dalam berjilid-jilid kitabnya yang berjudul Fathul Bari.

Tradisi menulis teks inti (matan), kemudian diberi syarah (penjelasan), dan berlanjut dengan hasyiyah (komentar atau catatan atas syarah), merupakan salah satu karakter penting dari literatur keislaman hampir dalam semua bidang keilmuan, untuk tidak lancang mengatakan semuanya.

Contoh sederhana: dalam bidang fiqh, kitab matan Taqrib, diberi syarah oleh kitab Fathul Qarib, lantas diberi komentar dengan detil, padat dan luas oleh kitab Hasyiyah al-Bajuri. Begitu juga dalam bidang ushul fiqh, kitab al-Waraqat yang ditulis oleh Imam al-Haramain, diberi Syarah oleh Jalaluddin al-Mahalli. Tidak berhenti di sana, muncul pula sejumlah kitab Hasyiyah yang ditulis secara berbeda-beda oleh Imam al-Qalyubi, Imam Ahmad as-Sanbathi, dan Imam Ahmad ad-Dimyathi, serta Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Menakjubkan, bukan!

Ini yg disebut dg genealogi pemikiran. Sebuah gagasan tidak lahir begitu saja dan tidak lantas langsung bisa dikonsumsi.  Dalam bahasa lain: “jangan buru-buru meminum kopi kita saat masihnpanas. Nikmati saja aromanya, baru kita teguk pelan-pelan. Begitu juga belajar ilmu agama, gak bisa terburu-buru, apalagi dengan hati yg panas. Nikmati saja proses belajar ini.”

beragama dalam keragaman itu justru menguatkan iman kita

Keberagamaan kita tidak perlu diseragamkan.

Kita harus merayakan keragaman

Yang sudah beragam tak perlu dipaksa harus seragam

Yang sudah seragam tak perlu harus dipaksa untuk beranekaragam

Beragama bukan dengan geram dan dendam

Beragama tidak menyeramkan

Beragama itu tidak memberatkan

Beragama itu sungguh menentramkan

Percayalah!

Beliau juga memotivasi kepada para Wisudawan dan Wisudawati agar jangan pernah puas dengan ilmu yang telah diperoleh, “teruslah menimba ilmu karena saya sendiri S1 dua kali, S2 dua kali dan S3 2 kali”. ucap Prof. Nadzir. (Adm/AF)