IAIN MANADO – Program Pascasarjana IAIN Manado menyelenggarakan Studium Generale (Kuliah Umum) bertema ”Penisataan Agama dalam Konsep Islam dan Kristen”. Kegiatan yang diselenggarakan pada Jumat, 16 Desember 2016 ini menghadirkan dua narasumber yakni Dr. Nasruddin Yusuf, M.Ag (dosen IAIN Manado) dan Dr. (C). Denni Pinontoan, M.Th (dosen Universitas Kristen Tomohon).
Ketua Panitia Pelaksana, Delmus Puneri Salim, M.A., Ph.D, dalam laporannya pada sesi pembukaan kegiatan Studium Generale menjelaskan bahwa tema yang diusung dalam kegiatan Studium Generale merupakan bagian dari upaya Program Pascasarjana IAIN Manado untuk ikut berpartisipasi memberikan kontribusi positifnya dalam menemukan solusi terhadap permasalahan sosial keagamaan yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini. “Problem penistaan agama yang menjadi isu aktual saat ini sangat signifikan untuk didiskusikan dalam ranah akademik agar diperoleh penjelasan akademik ilmiah yang memadai tentang permasalahan penistaan agama”, ungkapnya. “Melalui kajian terhadap tema yang diusung dalam Studium Generale ini diharapkan diperoleh simpul pemahaman penistaan agama dalam konsep Islam dan Kristen sehingga setiap individu dengan keragaman keyakinan dapat saling menghormati satu sama lain”, tegasnya.
Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Gedung Pascasarjana IAIN Manado dibuka oleh Direktur Program Pascasarjana IAIN Manado, Dr. Rivai Bolotio, M.Pd. Dalam dalam sambutannya mewakili Rektor IAIN Manado, Direktur Program Pascasarjana IAIN Manado ini mengungkapkan bahwa tema yang diangkat oleh Panitia Pelaksana Studium Generale relavan dengan upaya pencapaian salah satu visi IAIN Manado yaitu menjadikan IAIN Manado sebagai kampus berbasis multikultural. Oleh karena itu, program-program dan kegiatan-kegiatan akademik yang dilaksanakan oleh semua unit organisasi termasuk Program Pascasarjana haruslah berorientasi pada pencapaian visi IAIN Manado. “Dalam konteks lokal Sulawesi Utara, yang terkenal dengan mercusuar pluralisme Indonesia, merupakan kewajiban setiap komponen warga masyarakat termasuk komponen perguruan tinggi untuk ikut aktif menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama”, ungkapnya.
Dr. Nasruddin Yusuf, M.Ag, yang adalah Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara dalam pemaparan materinya mengungkapkan bahwa secara terminologis, penistaan berasal dari kata ‘nista’ yang bermakna ‘hina’, ‘rendah’. Dengan demikian, “penistaan agama berarti menghina atau merendahkan agama atau keyakinan” ungkapnya. Akademisi IAIN Manado yang juga Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Utara ini menegaskan bahwa secara normatif landasan hukumnya jelas dalam al-Quran tidak dibenarkan menghina sesembahan agama atau kepercayaan orang lain. “Dalam membangun relasi antaragama, masing-masing pihak harusnya mempunya batasan karena sangatlah penting untuk menghindari campur aduk terhadap hal yang sifatnya prinsip dalam agama”, lanjutnya. Ia juga mengingatkan bahwa pembatasan yang dilakukan jangan sampai mengganggu hubungan baik antarpemuluk agama. “Nilai-nilai toleransi harus tetap dikedepankan”, tegasnya.
Sementara itu, Dr. (C). Denni Pinontoan, M.Th, akademisi dan agamawan Universitas Kristen Tomohon (UKIT) mengungkapkan bahwa secara historis isu penistaan agama dalam Kristen dapat dilacak, misalnya, peristiwa bagaimana Yesus berhadap-hadapan dengan pembencinya yakni kaum elit Yahudi. Orang Yahudi merasa terganggu eksistensinya karena kehadiran Yesus. Untuk menghentikan langkah Yesus, maka para elit Yahudi melayangkan tuduhan, melakukan justifikasi bahwa Yesus telah menista agama karena mengaku sebagai anak Allah (Tuhan). Itulah sebabnya, narasumber yang juga dikenal sebagai budayawan ini berpandangan bahwa penistaan agama tidaklah berwajah tunggal, apa yang terjadi pada Yesus, misalnya, karena tendensi sosial-politik elit Yahudi dan bukan karena murni agama. “Dalam Kristen setiap fase pekembangan agama ini selalu ada kasus/peristiwa yang sama, salah satunya juga tentang reformasi gereja yang dilakukan oleh Marthen Luther. Sang revolusioner itu dituduh melecehkan agama oleh kalangan gereja” ungkapnya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa penistaan agama tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, harus dari berbagai sudut pandang, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. “Hubungan antaragama harus didudukkan sebagai suatu kelaziman sosial dan bukan pada ranah teologis, hanya dengan begitu toleransi antarumat bergama akan dapat terpelihara”, tegasnya. (at).